TANGGUNG JAWAB YURIDIS SEKOLAH TERHADAP MURID YANG MENGALAMI KEKERASAN DI LINGKUNGAN SEKOLAH


Febri Kurniawan Pikulun SH.,CLA

Ketua Komnas Perlindungan Anak Jawa Timur

Pengurus Peradi DPC Surabaya.

Advokat & Legal Consultant.


 Pada dasarnya setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 Bullying adalah istilah dalam Bahasa Inggris yang berarti perundungan. Dalam KBBI, merundung mempunyai pengertian menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong.

 Tujuan pelaku bullying umumnya adalah untuk merendahkan orang lain dan menunjukkan bahwa mereka mempunyai kuasa terhadap korban. Di lingkungan sekolah, tak jarang siswa melakukan aksi bullying kepada siswa lainnya yang dilakukan dalam berbagai cara, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi.

 Seringkali kita mendengar berita mengenai tindakan Bullying/ Perundungan di lingkungan dunia pendidikan, tapi seringkali prihal penegakan hukumnya tidak tuntas dan hanya tertuju kepada pelaku aktif , yang rata rata masih dibawah umur.

 Apa bentuk tanggung jawab hukum sekolah jika terjadi tindakan bullying di lingkungan sekolah? Beberapa kasus bullying yang menimpa anak sekolah justru ditanggapi pihak sekolah sebagai suatu candaan antar anak-anak, sehingga tidak disikapi secara serius.

 Dalam Konsideran Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan menjelaskan; bahwa peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan lainnya berhak mendapatkan pelindungan dari kekerasan yang terjadi lingkungan satuan pendidikan (Ayat A). Bahwa untuk melaksanakan pelindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dilakukan pencegahan dan penanganan kekerasan yang mempertimbangkan hak peserta didik dalam memperoleh lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, nyaman, dan menyenangkan bagipeserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan lainnya (Ayat B).

 Secara hukum, bullying merupakan suatu bentuk kekerasan. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 6 Permendikbud No. 46/2023 yang menjelaskan bahwa kekerasan di sekolah dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang terdiri atas:

• kekerasan fisik;

• kekerasan psikis;

• perundungan;

• kekerasan seksual;

• diskriminasi dan intoleransi;

• kebijakan yang mengandung kekerasan; dan

• bentuk kekerasan lainnya.

Perundungan sendiri merupakan kekerasan fisik (seperti penganiayaan, perkelahian, dan lain-lain) dan/atau kekerasan psikis (seperti pengucilan, penghinaan, pengabaian, intimidasi, teror, pemerasan, dan sebagainya) yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa.

Kewajiban Sekolah untuk Mencegah Bullying

Sekolah sebagai tempat pendidikan memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya bullying, baik secara etis dan moral maupun secara hukum. Hal ini karena ketika para siswa berada di sekolah, sekolah bertindak sebagai “orang tua pengganti”, yang memiliki tugas untuk mendidik dan melindungi para siswa semaksimal mungkin dari segala bentuk kekerasan.

Terkait dengan kewajiban sekolah secara hukum untuk melindungi siswanya dari tindakan bullying, hal tersebut mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1a) UU Perlindungan Anak No. 35/ 2014 yang berbunyi “Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan dari satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Lebih lanjut, Pasal 54 UU Perlindungan Anak No.35/ 2014 juga menerangkan ” bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Perlindungan tersebut dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Bahwa terdapat ketentuan sanksi yang diatur di dalam UU Perlindungan Anak beserta perubahannya. Pasal 76C UU Perlindungan Anak No.35/ 2014 menyatakan bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Pelanggaran terhadap ketentuan pasal tersebut dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 yaitu pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. 

Terhadap pihak sekolah yang tidak melakukan upaya pencegahan atau perlindungan terhadap siswa dari tindakan bullying bisa artikan bahwa pihak sekolah dianggap telah melakukan kelalaian

Definisi/ arti kata 'kelalaian” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kurang hati-hati; tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dan sebagainya. 

Pada dasarnya, kelalaian/ kealpaannya seseorang yang menyebabkan matinya orang lain diatur dalam Pasal 359 KUHP; Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.

Unsur-unsur Pasal 359 KUHP:

• barang siapa;

• karena kesalahannya/kealpaannya;

• menyebabkan orang lain meninggal dunia/mati.

Berdasarkan bunyi pasal kelalaian tersebut, R. Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berpendapat bahwa kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Sebab, kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya pelaku. Sementara itu, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku, maka pasal yang dapat diberlakukan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP dan Pasal 458 UU 1/2023 atau Pasal 459 UU 1/2023.


Tanggung Jawab Sekolah Jika Terjadi Bullying 

Pengaturan mengenai tanggung jawab sekolah untuk melakukan pencegahan perilaku bullying diatur lebih lanjut di dalam Permendikbud No. 46/2023.

Pada prinsipnya, sekolah memiliki tanggung jawab untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan yang meliputi penguatan tata kelola, edukasi, dan penyediaan sarana dan prasarana.

Bentuk penguatan tata kelola untuk mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan satuan pendidikan di antaranya menerapkan pembelajaran tanpa kekerasan dan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (“TPPK”) di sekolah. Adapun, TPPK adalah tim yang dibentuk satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.

Tugas dari TPPK adalah melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. 

Untuk menjalankan tugasnya, TPPK memiliki fungsi untuk:

1. menyampaikan usulan/rekomendasi program pencegahan kekerasan kepada kepala sekolah;

2. memberikan masukan/saran kepada kepala sekolah mengenai fasilitas yang aman dan nyaman di satuan pendidikan;

3. melaksanakan sosialisasi kebijakan dan program terkait pencegahan dan penanganan kekerasan bersama dengan satuan pendidikan (sekolah);

4. menerima dan menindaklanjuti laporan dugaan kekerasan;

5. melakukan penanganan terhadap temuan adanya dugaan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan;

6. menyampaikan pemberitahuan kepada orang tua/wali dari peserta didik yang terlibat kekerasan;

7. memeriksa laporan dugaan kekerasan;

8. memberikan rekomendasi sanksi kepada kepala sekolah berdasarkan hasil pemeriksaan;

9. mendampingi korban dan/atau pelapor kekerasan di lingkungan sekolah;

10. memfasilitasi pendampingan oleh ahli atau layanan lainnya yang dibutuhkan korban, pelapor, dan/atau saksi;

11. memberikan rujukan bagi korban ke layanan sesuai dengan kebutuhan korban kekerasan;

12. memberikan rekomendasi pendidikan anak dalam hal peserta didik yang terlibat kekerasan merupakan anak yang berhadapan dengan hukum; dan

13. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Kepala Dinas Pendidikan melalui kepala sekolah minimal 1 kali dalam 1 tahun.

TPPK berwenang untuk:

1. memanggil dan meminta keterangan pelapor, korban, saksi, terlapor, orang tua/wali, pendamping, dan/atau ahli;

2. berkoordinasi dengan pihak terkait dalam pencegahan dan penanganan kekerasan; dan

3. berkoordinasi dengan satuan pendidikan lain terkait laporan kekerasan yang melibatkan korban, saksi, pelapor, dan/atau terlapor dari satuan pendidikan yang bersangkutan.

Jika terbukti adanya kekerasan, maka TPPK membuat mengeluarkan rekomendasi yang memuat:

1. Sanksi administratif kepada pelaku;

2. Pemulihan korban/pelapor dan/atau saksi dalam hal belum dilakukan atau sepanjang masih dibutuhkan; dan

3. Tindak lanjut keberlanjutan layanan pendidikan.

4. Rekomendasi TPPK tersebut, kemudian ditindaklanjuti oleh kepala sekolah atau kepala Dinas Pendidikan dengan menerbitkan keputusan berupa pengenaan sanksi administratif terhadap terlapor jika terbukti adanya kekerasan.

 Adapun sanksi administratif terhadap pelaku bullying yang berstatus sebagai siswa adalah sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis, sanksi administratif sedang berupa tindakan yang bersifat edukatif selama minimal 5 hari dan maksimal 10 hari, dan sanksi administratif berat berupa pemindahan siswa ke satuan pendidikan lain.

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan di atas, sekolah sebagai satuan pendidikan berperan sebagai garda terdepan untuk memberikan edukasi, pencegahan, dan bertanggung jawab jika terjadi tindakan bullying di lingkungan sekolah. 


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama