![]() |
Direktur Berita Kasus Indonesia, Arwin Tambora bersama Musa Abidin, Ketua LSM Gerah |
Pasuruan, 10 Oktober 2025 | Merebak isu bahwa Kepala Desa Rebalas, Kecamatan Grati, “akan lolos dari jerat hukum Tipikor” dinilai sebagai upaya pengaburan fakta dan tekanan opini terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan.
Dua lembaga pengawas publik, LSM Gerah dan Media Investigasi Berita Kasus Indonesia, menegaskan bahwa belum ada dasar hukum untuk menyimpulkan kasus ini telah selesai, karena baik audit Inspektorat maupun proses penyelidikan Kejaksaan masih berlangsung.
Direktur Berita Kasus Indonesia, Arwin Tambora, menyebutkan bahwa dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Dana Desa Rebalas Tahun Anggaran 2022 dan 2023 tidak berhenti pada satu item kegiatan semata. Hasil investigasi lapangan yang telah disampaikan ke Kejaksaan Negeri Pasuruan menunjukkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan, pengelolaan anggaran yang tidak transparan, serta pelaporan keuangan yang tidak sesuai fakta di lapangan.
“Jadi bukan sekadar soal kualitas proyek fisik, tetapi soal sistem pengelolaan dana publik yang diduga telah menyimpang dari aturan,” ujarnya.
Arwin dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya beberapa waktu lalu telah mengajukan pengaduan resmi kepada kejaksaan dengan melampirkan hasil investigasi dan kajian yuridis. Dalam dokumen tersebut disebutkan sejumlah program yang bermasalah, mulai dari proyek pembangunan fasilitas olahraga, bantuan perumahan, hingga kegiatan pemberdayaan ekonomi yang tidak terealisasi sebagaimana mestinya.
“Setiap rupiah yang berasal dari Dana Desa wajib dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Tidak bisa diselesaikan hanya dengan dalih administratif atau alasan kelalaian oknum pelaksana kegiatan,” tegasnya.
Sementara itu Musa Abidin, Ketua LSM Gerah menilai bahwa isu “lolos hukum” yang beredar di publik adalah bentuk manipulasi informasi yang berbahaya.
“Proses hukum itu berjalan berdasarkan bukti, bukan opini. Audit Inspektorat masih berjalan, dan Kejaksaan belum pernah menyatakan penghentian penyelidikan. Maka menyebarkan narasi bebas hukum pada tahap ini justru mengganggu independensi aparat penegak hukum,” ungkap Musa.
“Dalam satu kasus, pembangunan hanya terealisasi sebagian meski anggaran terserap penuh. Dalam kasus lain, terdapat kegiatan yang tidak memiliki bukti fisik sama sekali. Ini menandakan bahwa persoalan bukan sekadar salah beli atau salah hitung, tapi potensi penyalahgunaan jabatan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Musa juga menyoroti pentingnya obyektivitas hasil audit Inspektorat Kabupaten Pasuruan. Menurutnya, hasil audit bukan hanya sekadar laporan administratif, tetapi jaminan moral dan hukum atas integritas lembaga pengawas daerah.
“Obyektivitas hasil audit Inspektorat menjadi pertaruhan kredibilitas institusi itu sendiri. Kesalahan sekecil apa pun dalam proses audit bisa memunculkan keraguan publik dan melemahkan penegakan hukum. Audit harus mencerminkan fakta di lapangan, bukan hasil kompromi administratif,” ujarnya.
Ia menegaskan, “Kami akan mengawal agar proses hukum ini tidak berhenti di meja pemeriksaan administratif. Bila ditemukan unsur pidana, maka wajib dilanjutkan ke penyidikan Tipikor, Kami akan mengawal agar proses hukum ini tidak berhenti di meja pemeriksaan administratif. Bila ada unsur pidana, harus dilanjutkan ke penyidikan Tipikor,” katanya.
Baik Musa Abidin maupun Arwin Tambora menilai bahwa jika muncul narasi “ini hanyalah kesalahan administratif” maka hal itu merupakan strategi klasik untuk mengaburkan batas antara pelanggaran administrasi dan tindak pidana korupsi.
Temuan administratif tidak meniadakan pertanggungjawaban pidana bila terbukti terdapat unsur memperkaya diri atau merugikan keuangan negara.
“Sering kali pelaku bersembunyi di balik istilah administratif. Padahal, ketika laporan tidak sesuai realisasi, dana tidak dapat dipertanggungjawabkan dan hasil pekerjaan tidak sebanding dengan anggaran, itu sudah masuk wilayah pidana korupsi, bukan sekadar kesalahan tata kelola,” jelas Arwien.
Musa menambahkan bahwa berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2017, hasil audit atau pemeriksaan internal tidak menggugurkan kewenangan aparat penegak hukum untuk mendalami kemungkinan adanya tindak pidana korupsi.
“Kalau ada kerugian keuangan negara, maka ranahnya bukan lagi Inspektorat, tapi Kejaksaan dan Tipikor. Itulah yang sering disamarkan seolah cukup dikembalikan atau ditegur, padahal secara normatif perbuatan itu melanggar Pasal 2,3, dan 4 UU Tipikor,” ujarnya.
Ia juga menegaskan, kesalahan pelaksana kegiatan tidak menghapus tanggung jawab kepala desa sebagai penanggung jawab tertinggi penggunaan Dana Desa.
“Dalam hukum administrasi dan keuangan negara, tanggung jawab melekat pada pejabat pengguna anggaran. Kepala desa tetap bertanggung jawab secara penuh atas seluruh penggunaan dana, sekalipun ada pelaksana teknis atau pihak ketiga yang turut bekerja,” tambah Arwin.
Menurut mereka, kebiasaan menutupi pelanggaran dengan istilah kekeliruan administratif menciptakan grey area yang berbahaya, karena masyarakat akhirnya tidak bisa membedakan antara kekeliruan administratif dan kejahatan keuangan negara.
“Inilah bentuk pengaburan hukum yang harus dilawan. Audit dan pidana bukan dua hal yang saling meniadakan, tetapi dua tahap berbeda dari proses yang sama memastikan uang rakyat tidak diselewengkan,” tegas Musa.
Mereka menegaskan bahwa lembaganya bersama rekan-rekan akan terus mengawal perkara ini hingga tuntas dan tidak akan berhenti sampai ada kepastian hukum. Kasus ini penting, bukan hanya bagi warga Rebalas, tapi sebagai contoh bahwa masyarakat berhak tahu pemanfaatan dana publik.
(red)