Pasuruan, 5 November 2025 | Sudah 14 tahun berlalu sejak Pemerintah Kota Pasuruan pertama kali menyiapkan dana untuk membangun Jalan Lingkar Utara (JLU). Namun hingga hari ini, strategi proyek infrastruktur itu masih tertunda tanpa kepastian. Yang tersisa hanyalah tumpukan peraturan daerah yang berubah-ubah.
Forum Rakyat Pasuruan Bangkit (FRPB) hari ini, Rabu (5/11), secara resmi menyampaikan pernyataan sikap dan tuntutan kepada Pemkot yg berada di Pasuruan. FRPB mengungkap deretan fakta yang mengindikasikan lemahnya tata kelola pemerintahan.
“Ini bukan lagi soal keterlambatan proyek biasa. Ini adalah kegagalan sistemik yang berulang selama 14 tahun,” tegas Musa Abidin, unsur FRPB dari LSM GERAH.
“Rakyat Pasuruan berhak tahu untuk apa uang mereka selama ini?”
Jalan Lingkar Utara dimulai pada tahun 2011. Saat itu, Pemkot Pasuruan penuh optimisme membentuk Dana Cadangan sebesar Rp 60 miliar melalui Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2011. Dana itu dicicil selama empat tahun.
Yang mengejutkan, dari dana Rp 60 miliar yang sudah disiapkan, ternyata hanya Rp 9,6 miliar (16%) yang benar-benar digunakan untuk transmisi tanah selama 7 tahun (2014-2021). Sisanya, Rp 50,3 M menganggur di rekening khusus Dana Cadangan.
“Bayangkan, 84 persen dana tidak terpakai selama bertahun-tahun, ujar Musa. “Sementara itu, harga tanah terus naik. Dana yang dulu cukup di tahun 2011, sekarang sudah tidak lagi.”
Ketika target 2014 gagal, Pemkot tidak memberikan penjelasan memadai kepada masyarakat. Yang mereka lakukan adalah mengubah peraturan melalui Perda No. 1/2017, jadwal pelaksanaan diperpanjang hingga 2021. Alasannya tetap sama “kebutuhan pendanaan kegiatan pengembangan infrastruktur.”
Lalu pada tahun 2023 dalam LHP BPK menemukan jika saldo Dana Cadangan sebesar Rp 50,3 M di neraca tidak memiliki dasar hukum.
Temuan itu seperti waktu lahir. Perda No. 29/2011 yang menjadi landasan Dana Cadangan sudah tidak berlaku lagi karena batas waktunya sampai tahun 2021. Artinya, dana puluhan miliar itu “menggantung” tanpa payung hukum.
Merespons BPK, Pemkot kemudian memindahbukukan seluruh dana ke Rekening Kas Umum Daerah pada akhir tahun 2023.
Tidak berhenti di situ. Pada November 2023, Pemkot kembali membentuk Dana Cadangan baru melalui Perda 3/2023. Kali ini, dana yang terbentuk sebesar Rp 37 M berasal dari bunga atau jasa giro yang terkumpul selama ini. .
Belum genap dua tahun, peraturan itu diubah lagi. Pada Agustus 2025, melalui Perda No. 5/2025, Pemkot menghapus batas waktu penyelesaian yang jelas. Yang tersisa hanya kalimat samar “dilaksanakan setelah persyaratan administrasi terpenuhi.”
“Ini yang kami maksud dengan mengulur waktu,” kata Ketua Umum LSM Gerah ini. “Tidak ada target yang jelas, tidak ada sanksi jika gagal, tidak ada evaluasi yang serius. Yang ada hanya peraturan baru untuk menyamarkan kegagalan lama.”
Dalam hitungan FRPB, sejak 2011 hingga 2025, sudah empat kali Perda JLU dibuat atau diubah. Namun hasilnya? Tidak besar.
FRPB menduga ada ketidakseriusan dari Pemkot dalam menjalankan program ini. Indikator lainnya adalah soal anggaran. Dalam berbagai kesempatan, pejabat Pemkot menyebut total anggaran kebutuhan untuk Jalan Lingkar Utara mencapai Rp 1 triliun. Namun tidak pernah ada penjelasan rinci tentang mana dana sebesar itu yang akan diperoleh, bagaimana skema pembiayaannya, dan apakah realistis dengan kondisi keuangan daerah saat ini.
“Dengan kapasitas fiskal Pemkot yang terbatas, perekonomian nasional yang tidak stabil, dan ketidakjelasan target penyelesaian, nilai proyek ini kami tidak rasional,” tegas Musa.
Selain itu terdapat kerugian dari sisi biaya kesempatan yang hilang yang berupa dana yang tidak produktif serta potensi kerugian akibat kenaikan harga tanah yang eksponensial. Pada tahun 2011, harga tanah di kawasan lingkar utara Kota Pasuruan masih rendah, namun pada tahun 2025, harga tanah di lokasi yang sama sudah melonjak naik 200% hingga 400%.
“Dana Rp 60 miliar yang cukup untuk membeli tanah pada tahun 2011, sekarang jelas tidak akan cukup,” jelasnya. Artinya, keterlambatan ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga membuat proyek semakin sulit untuk diselesaikan, demikian juga dengan biaya logistik yang membengkak.
Dalam surat pernyataan sikap yang disampaikan kepada Walikota Pasuruan, FRPB mengajukan delapan tuntutan yang harus ditanggapi
FRPB mendesak agar Pemkot berkomitmen menyelesaikan Jalan Lingkar Utara pada masa kepemimpinan Walikota Adi Wibowo dengan target waktu yang jelas dan terukur. Maka pemkot harus memberikan penjelasan terbuka dan transparan kepada publik terkait rencana anggaran Rp 1 triliun yang disebutkan, dari mana sumbernya, bagaimana skema pembiayaannya, dan apakah rasional dengan kondisi keuangan daerah. Lebih lanjut Musa meminta evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan Dana Cadangan dari tahun 2011 hingga 2025.
FRPB mendesak evaluasi rasionalitas proyek ini. Dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah yang terbatas, kondisi ekonomi nasional yang tidak stabil, tingkat suku bunga yang tinggi, dan ketidakjelasan target penyelesaian.
FRPB mengingatkan agar Perda 5/2025 yang menghapus batas waktu penyelesaian dievaluasi ulang. “Peraturan tanpa target waktu adalah peraturan yang membuka ruang dan potensi puncak,” cetus Musa.
Selain mengenai JLU, Musa juga menyoroti pentingnya transparansi dalam proses tender di Kota Pasuruan. Belakangan ini, banyak kejanggalan yang muncul terkait penentuan pemenang tender, baik untuk tender proyek pemerintah diLPSE dan juga seperti di e-catalog. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan intimidasi di kalangan masyarakat, yang seringkali tidak mendapat kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam tender tersebut.
Transparansi dalam proses tender harus dijaga dengan ketat. Proses seleksi pemenang harus dilakukan secara objektif dan adil, tanpa adanya praktik-praktik yang merugikan pihak lain demi memenangkan kandidat tertentu. Semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa diharapkan untuk mematuhi ketentuan yang berlaku dan memastikan tidak ada trik atau praktik curang yang merugikan, meskipun mungkin secara regulasi tampak sah. Sebagai contoh, bagaimana mungkin perusahaan yang berasal dari luar pulau dengan jarak ratusan KM dari Pasuruan bisa memenangkan tender di kota ini? Apakah mereka memiliki informasi harga lokal yang akurat, kecuali ada modus pinjam-meminjam bendera yang secara aturan dilarang? Hal seperti ini tentu dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap proses tender yang seharusnya transparan.
Jika masalah ini tidak segera ditangani, maka tidak hanya akan merusak integritas proses tender, tetapi juga akan mencederai legitimasi pemerintahan Mas Adi Wibowo. Pemkot Pasuruan harus memastikan bahwa setiap proses tender dijalankan dengan prinsip keadilan dan transparansi yang ketat, agar tidak menimbulkan kualitas, ketidakpuasan, atau bahkan membahayakan warga kota.
Masalah transparansi tender ini juga menyentuh potensi besar ketidakadilan yang bisa terjadi apabila pengadaan barang dan jasa dimenangkan oleh pihak yang tidak memiliki niat baik atau tidak berkompeten. Bukan hanya menghambat peluang bagi pengusaha lokal, namun juga berpotensi mengarah pada kualitas proyek yang buruk, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat Kota Pasuruan secara keseluruhan.
Menurut Musa terkait JLU dan Tender bukan hanya urusan FRPB. Ini urusan kita semua sebagai warga Kota Pasuruan yang peduli pada masa depan Kota Pasuruan, dan yakin Pemerintahan di bawah kendali Mas Adi Wibiwo akan mampu mengatasi rintangan dan hambatan yang ada.
