Notification

×

Iklan

Iklan

Polemik Penutupan Gempol 09 : Tuntutan Kemanusiaan dan Kepastian Hukum Mengemuka

Kamis, 24 Juli 2025 | Juli 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-24T07:30:49Z
Ki-ka : Gus Ujay, Musa Abidin, Imam Rusdian


Pasuruan, 24 Juli 2025 – Wacana penutupan kawasan Gempol 09 di Kabupaten Pasuruan menuai sorotan luas dari berbagai kalangan. Kawasan yang belakangan dikenal sebagai lokasi warkop remang-remang dan disinyalir menjadi tempat terjadinya praktik prostitusi terselubung ini memunculkan perdebatan antara langkah penegakan hukum dan perlindungan hak sosial ekonomi masyarakat kecil.


Ketua Umum LSM P-MDM DPP, Gus Ujay, menyampaikan keprihatinannya terhadap rencana penutupan tersebut. Ia menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak boleh hanya berpijak pada pendekatan hukum semata, melainkan juga harus mempertimbangkan nasib para pekerja yang menggantungkan hidup dari aktivitas malam hari di kawasan tersebut.

“Mereka juga manusia. Mereka punya keluarga dan tuntutan hidup. Jangan hanya bicara penutupan, tapi pikirkan juga solusinya, berikan mereka lapangan pekerjaan,” ujar Gus Ujay, Selasa (23/7/2025).


Menurutnya, menutup tempat-tempat usaha tanpa memberikan alternatif atau solusi berarti justru berpotensi melahirkan persoalan sosial baru. Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki keterkaitan pribadi dengan kawasan Gempol 09, namun memahami betul bagaimana kerasnya perjuangan hidup para pekerja malam.

“Saya tidak punya warkop di Gempol 09. Tapi saya tahu persis bagaimana mereka harus begadang setiap malam, hanya untuk bertahan hidup,” tambahnya.


Sebagai langkah konkret, Gus Ujay mengungkapkan bahwa pihaknya telah lama mengusulkan peraturan daerah (perda) tentang hiburan malam sebagai solusi jangka panjang agar aktivitas malam dapat ditata secara legal, manusiawi, dan kondusif. Ia juga mengingatkan pemerintah daerah agar tidak serta-merta melakukan penutupan tanpa mempertimbangkan kelemahan regulasi dan sisi kemanusiaan.

“Kalau ada regulasi yang lemah, mestinya Pemkab bisa turun tangan memberikan solusi. Jangan serta-merta menutup tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan,” tegasnya.


Sementara itu, dari sisi legal dan tata kelola pemerintahan, dua aktivis kebijakan publik Perkumpulan Cakra Berdaulat dan LSM Gerah juga menyuarakan kekhawatiran serupa, namun dari perspektif konstitusional dan administratif.


Pimpinan Cakra Berdaulat, Imam Rusdian, menegaskan bahwa tindakan penutupan tempat usaha tidak bisa dilakukan secara serampangan, terlebih hanya berdasarkan tekanan opini publik atau desakan politik.

“Penutupan tempat usaha tidak bisa dilakukan berdasarkan dugaan atau tekanan politik semata. Harus ada bukti konkret pelanggaran dan mengikuti prosedur hukum yang adil (due process of law) sesuai UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” jelasnya.


Imam menekankan bahwa setiap keputusan tata usaha negara seperti pencabutan izin atau penutupan usaha harus mengindahkan asas legalitas, dilakukan oleh pejabat yang berwenang, serta melalui proses administratif yang benar. Tak kalah penting, pemerintah wajib menjunjung asas audi alteram partem (hak untuk didengar sebelum dijatuhi sanksi) dan proporsionalitas agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan kerugian yang tidak adil.

“Jangan sampai semua cafe di Gempol 9 ditutup hanya karena ada satu-dua oknum pengunjung yang melanggar. Itu tidak adil. Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah pemilik cafe memang membiarkan atau bahkan memfasilitasi pelanggaran tersebut,” tegas Imam.



Senada, Ketua LSM Gerah, Musa Abidin, menegaskan bahwa dalam negara hukum, pemerintah daerah tidak boleh bertindak sebagai eksekutor atas dasar tekanan sosial yang tidak berbasis pembuktian hukum.

“Tindakan menutup tempat usaha secara menyeluruh tanpa mekanisme hukum yang sah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak atas kepastian hukum yang adil dan hak setiap warga negara untuk memperoleh penghidupan yang layak,” katanya.


Musa juga mengingatkan bahwa prinsip praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi. Jika pelanggaran dilakukan oleh pengunjung tanpa sepengetahuan pemilik, maka yang bertanggung jawab adalah pelaku individual sesuai hukum pidana. Sebaliknya, jika ditemukan pembiaran aktif dari pemilik, barulah sanksi administratif dapat dikenakan.

“Penyampaian aspirasi kepada Bupati pun harus tetap tunduk pada prinsip legalitas dan akuntabilitas. Mendesak kepala daerah bertindak tanpa melalui uji hukum justru membahayakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan taat hukum,” tambah Musa.


Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Pasuruan terkait kelanjutan rencana penutupan Gempol 09. Namun polemik ini terus menyita perhatian publik, terutama soal keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak sosial ekonomi warga kecil.